PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sistim
kepercayan adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika
yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Jadi sistim kepercayaan bukan hanya
menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana
relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola
perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame manusia maupun terhadap alam
dan yang gaib.
Sistim
kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya
(Matowanyika, 1991), ialah
1.
Sepenuhnya pedesaan
2.
Sepenuhnya didasarkan atas produksi
lingkungan fisik setempat
3.
Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta
institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga
sebagai dasar pembagian kerja
4.
Sistim distribusi yang mendorong adanya
kerjasama
5.
Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam,
tetapi selalu terdapat system pemilikan bersama
6.
Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan
pengalaman lokal.
Berdasarkan
aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini bergantung hidup dengan megelola
sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya yaitu kawasan perairan dan
pulau-pulau kecil. Secara umum sumber ekonomi mereka ialah sumber daya
perikanan (tangkap dan budidaya) menjadi sumber daya yang sangat penting dan
sumber daya ini menjadi penggerak dinamika ekonomi lokal di desa-desa
pesisiran.
Salah
satu masalah yang paling krusial yang di hadapi masyarakat pesisir adalah
kemiskinan. Sebagaimana yang banyak diungkapkan melalui berbagai studi dan
penelitian.
Dengan
memperhatikan masalah-masalah sosial yang secara langsung sering dihadapi oleh
masyarakat pesisir, khususnya masalah kemiskinan dan kerosakan lingkungan,
merupakan alasan atau latar belakang yang perlu dipertimbangkan secara saksama
tentang masalah perlukan program pemberdayaan masyarakat pesisir.
1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai memmenuhi pembuatan tugas. Selain itu juga dengan adanya tugas ini maka, dapat
menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa khususnya kami dalam
mengetahui sistim kepercayaan nelayan di pesisir.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN
A. Masyarakat
Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat
yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran. Wilayah ini adalah wilayah
transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah daratan dan laut atau
sebaliknya (Dahuri dkk. 2001: 5). Di wilayah ini, sebagian besar masyarakatnya
hidup dari mengelola sumber daya pesisir dan laut, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh itu, dari perspektif matapencariannya, masyarakat pesisir
tersusun dari kelompok-kelompok masyarakat yang beragam seperti nelayan,
petambak, pedagang ikan, pemilik toko, serta pelaku industri kecil dan menengah
pengolahan hasil tangkap.
Di kawasan pesisiran yang
sebahagian besar penduduknya bekerja menangkap ikan, sekelompok masyarakat
nelayan merupakan unsur terpenting bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka
mempunyi peran yang besar dalam mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan
pembentukan struktur sosial budaya masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat
nelayan memiliki peran sosial yang penting, kelompok masyarakat yang lain juga
mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat nelayan merupakan
kelompok masyarakat yang pekerjaannya adalah menangkap ikan. Sebahagian hasil
tangkapan tersebut dikonsumsi untuk keperluan rumah atau dijual seluruhnya.
Biasanya isteri nelayan akan mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan
yang bertanggung jawab mengurus domestic rumahtangga.
Kegiatan melaut dilakukan
setiap hari, kecuali pada musim barat, masa terang bulan, atau malam jumat
(libur kerja). Kapan waktu keberangkatan dan kepulangan melaut umumnya
ditentukan oleh jenis dan kualitas alat tangkap. Biasanya nelayan akan
berangkat kelaut pada sore hari setelah Ashar dan kembali mendarat pada pagi
hari.
Tingkat produktivitas
perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi kegiatan ekonomi perdagangan
desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi pola-pola konsumsi penduduknya. Pada
saat tingkat penghasilan besar, gaya hidup nelayan cenderung boros dan
sebaliknya ketika musim paceklik tiba mereka akan mengencangkan ikat pinggang,
bahkan tidak jarang barang-barang yang dimilikinya akan dijual untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan,
struktur yang terkonstruksi merupakan aktualisasi dari organisasi kehidupan
perahu. Sistem organisasi nelayan memberi ruang yang luas bagi tumbuhnya
penghargaan terhadap nilai-nilai prestatif, kompetitif, beorentasi keahlian,
tingkatan solidaritas sosial kerana faktor nasib dan tantangan alam, serta
loyalitas terhadap pemimpin yang cerdas. Karena itu, posissi sosial seorang
nelayan atau pedagang ikan yang sukses secara ekonomis dan memiliki modal
kultural, seperti suka menderma dan sudah berhaji, sangat dihormati oleh
masyarakat di lingkungannya dan diikuti pendapatnya. Mereka ini merupakan modal
sosial berharga yang bisa didayagunakan untuk mencapai keberhasilan program
pemberdayaan masyarakat pesisir.
B.
Pola Pemukiman dan Kehidupan Sehari-hari
Kampung-kampung nelayan yang
padat, tidak hanya membatasi keleluasaan gerak penduduknya, tetapi juga
menyumbang terhadap pemeliharaan keamanan kampung dari gangguan pencuri. Di
Pesisir, tindak kriminal pencurian atau penjarahan harta benda penduduk hampir
tidak pernah terjadi. Siapapun orang luar yang masuk ke kampung-kampung
nelayan, baik siang hari ataupun malam hari akan mudah dikenali, dan jika
gerak-geriknya mencurigakan akan mudah diawasi. Kondisi demikian ditunjang oleh
hubungan kekerabatan antara penduduk kampung yang sangat kental.
Di samping itu, kepadatan
kampung memudahkan penyebaran informasi apapun di kalangan penduduk pesisir.
Pertengkaran pada sebuah keluarga (antara suami dan istri) akan mudah diketahui
oleh orang lain. Di pesisir sangat sulit menyimpan rahasia pribadi atau rumah
tangga karena yang ada hanyalah rahasia umum, begitu pun halnya dengan gossip.
Rumah-rumah penduduk
bersifat multifungsi, artinya tidak hanya sebagai tempat hunian dan
sosialisasi, tetapi juga difungsikan untuk mengeringkan ikan dan krupuk (yakni
bagian atap rumah). Ikan kering (ikan asin) ada yang dijual ke pasar atau
dikonsumsi sendiri. Bahan baku ikan kering diperoleh dari hasil tangkapan suami
atau dibeli dari nelayan lain. Ikan kering yang dikonsumsi sendiri biasanya
dimanfaatkan ketika masa laep atau tidak ada hasil tangkapan dalam waktu yang
relative lama. Ikan dikeringkan agar kondisinya bertahan lama sehingga dapat
dimanfaatkan setiap saat.
C. Masyarakat
dan Kebudayaan
Masyarakat pesisir mengenal
istilah taretan sema' (saudara dekat) dan taretan jauh (saudara jauh). Batas
untuk saudara dekat adalah tiga pupu, dan batas untuk saudara jauh adalah empat
pupu ke atas (bandingkan Sidiq, 1992:27). Saudara dekat sering dianggap sebagai
oreng dhalem (orang dalam), sedangkan saudara jauh dianggap sebagai oreng lowar
(orang luar). Hubungan-hubungan sosial antarkerabat dalam masyarakat pesisir
masih cukup kuat. Perbedaan status sosial-ekonomi yang mencolok antarkerabat
dapat menjadi penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara
mereka. Banyak dari keluarga kurang mampu yang merasa malu mengakui salah
seorang kerabatnya yang dipandang kaya di pesisir. Hubungan sosial tersebut
biasanya akan tercipta dengan baik jika masing-masing kerabat memiliki status
sosial-ekonomi yang relatif sepadan.
2.2 Hasil
Penelitian
A. Letak
Geografis
Terbentuknya Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu ditetapkan oleh Undang-Undang No.34 tahun 1999.
Dimana dalam undang-undang tersebut Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya
dari sebuah kecamatan menjadi Kabupaten Administrasi, wilayah Provinsi DKI
Jakarta.
Pulau Untung Jawa dengan
luas pulaunya 40,10 Ha yang pada saat ini didiami oleh penduduknya berjumlah
1.477 jiwa dengan 238 Kepala keluarga, yang sebagian besar bermata pencaharian
nelayan tradisional, sedangkan mengenai batas wilayah Kelurahan Pulau Untung
Jawa menurut data di Kelurahan adalah sebelah utara perbatasan dengan Kelurahan
Pulau Panggang, sebelah selatan berbatasan dengan Tanjung Pasir Provinsi
Banten, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pulau Pari dan sebelah timur
berbatasan dengan Jakarta Utara.
Mengenai tinggi Pulau Untung
Jawa dari permukaan air laut hanya dua meter dengan keadaan suhu berkisar
antara 24 derajat celcius sampai dengan 33 derajat celcius, sedangkan jarak
dari Pulau Jawa yang menghubungkan antara Tanjung Pasir Tanggerang Propinsi
Banten hanya 3,5 mil sehingga sangat mudah jarak tempuhnya.
B. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan
Pulau Untung Jawa seluruhnya berjumlah 1.577 jiwa dengan 238 Kepala Keluarga.
C. Keagamaan
Dilihat dari kondisi
masyarakat Kelurahan Pulau Untung Jawa dalam hal keyakinan keagamaan
berdasarkan sensus serta observasi, hasil wawancara dengan H. Fathurahman tokoh
ulama masyarakat dengan aparat kelurahan menyatakan bahwa di Kelurahan Pulau
Untung Jawa penduduknya 100% beragama Islam.
Berdasarkan hasil observasi
peneliti, ketaatan masyarakat Keselurahan Pulau Untung Jawa dalam melaksanakan
ibadah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah misalnya,
dapat dibuktikan ketika bulan suci ramadhan semarak dengan kegiatan keagamaan
masyarakat Kelurahan Pulau Untung Jawa sangat meningkat, baik dalam bidang
shalat tarawih, puasa, zakat, pendidikan pesantren kilat, dan sebagainya.
D. Tingkat Pendidikan
Pendidikan rata-rata
penduduk Pulau Untung Jawa hanya mencapai tamatan SLTA, meskipun ada juga yang
sampai tamat pendidikan diploma dan perguruan tinggi. Setelah dilakukan
penelitian, ternyata dapat diketahui masih sangat minimnya tingkat pendidikan
di kalangan masyarakat Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu Jakarta. Maka jika
dikerucutkan seperti piramida yaitu semakin tinggi puncak permukaan maka
semakin sedikit jumlah kaum yang terpelajarnya, begitu pula sebaliknya semakin
rendah permukaannya semakin banyak kalangan masyarakat yang belum menikmati
tingkat atas. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penduduk Pulau Untung Jawa
mempunyai latar belakang pendidikan kurang baik hanya sebagian kecil saja yang
tidak sampai menikmati pendidikan.
E. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk
Kepulauan Seribu pada umumnya mayoritas rata-rata nelayan tradisional, yaitu
mereka menangkap ikan dengan peralatan yang tergolong masih sangat sederhana
misalnya seperti pancing, jala, atau jaring dan bubu. Begitu pula halnya dengan
masyarakat Pulau Untung jawa, akan tetapi masyarakat Pulau Untung Jawa memiliki
penghasilan tambahan dengan adanya objek wisata di Pulau Untung Jawa, banyak
dari penduduk Pulau Untung Jawa yang memanfaatkan obyek wisata yang ada di
daerah Pulau Untung Jawa tersebut.
F. Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Kehidupan sosial
kemasyarakatan di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu Jakarta, sebagaimana hasil
wawancara peneliti dengan sejumlah warga masyarakat setempat diperoleh
keterangan bahwa masyarakat Pulau Untung Jawa dalam menghadapi kehidupan selalu
bersifat optimis, terbukti dengan usaha mereka bekerja keras dengan mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tidak ada masyarakat yang secara
total menganggur.
Selain itu, masyarakat Pulau
Untung Jawa sebagai masyarakat pinggiran yang masih diliputi oleh rasa
kekeluargaan yang cukup tinggi, terbukti dengan gotong- royong dan kebersamaan
mereka dalam berbagai kegiatan sosial dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan
sosial dan bekerja sama dalam hal pencarian nafkah dalam bidang pelayanan
penangkapan ikan, rumput laut, dan perdagangan.
Selain itu pula sebagai
masyarakat yang baik dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
serta sistem komunikasi yang begitu cepat dengan dicampuri oleh budaya luar
yang mungkin tidak bisa dicegah masuk. Sebagai contoh, perkembangan dunia
pertelevisian yang selalu menyuguhkan acara-acara yang sedikit banyak
mempengaruhi budaya setempat, baik dalam berpakaian maupun dalam pergaulan.
Namun demikian, masyarakat Pulau Untung Jawa dapat memilih dan memfilter budaya
tersebut sesuai dengan kepribadian dan pandangan hidup mereka.
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pendekatan pemberdayaan
sistim kepercayaan diharapan akan terjadi perubahan dasar perilaku sosial yang berkaitan dengan
perilaku konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan tersebut hanya dapat
terlaksana apabila secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan
kesungguhan semua pihak yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi
sosial.
Peluang sistim
kepercayaan merupakan
pranatara-pranatara social budaya dan jaringan sosial yang dimiliki oleh
masyarakat pesisir dan nelayan. Potensi ini sebagai modal sosial budaya
(cultural capital) yang berharga yang memiliki peranan dalam memobilisasi
perubahan perilaku sosial secara sadar dan keiklasan kearah yang lebih baik
dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alamlaut dan pesisir.
3.2
SARAN
Untuk mengetahui sistim
kepercayaan masyarakat di pesisir dalam penegelolaan sumber daya laut maka
harus dilakukan dengan benar- benar teliti sehingga apa yang menjadi tujuan dan
harapan kita dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi. 2000. Nelayan:Strategi Adaptasi dan Jaringan
Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.
______. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Bandung: Humaniora
Syahrizal. 2002. Dalam Skripsi Peranan Pariwisata dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat. UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Waluya, Bagja, 2009.
Sosiologi: Menyelami Sosial di Masyarakat : PT. Pribumi Mekar.
KELOMPOK 2
|
|
SOFYAN ASH SHIDDIEQY
|
D221 13 307
|
WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM (WSBM)
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
JURUSAN MESIN FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
|
http://sofyanida.blogspot.com
Semua berita yang ada di website anda sangat menarik perhatian untuk di simak, salam sehat. . . !! Semoga beritanya dapat bermanfaat! share ya gan, thanks nih!!
ReplyDelete